2025-04-20 | admin5

Kisruh Poyek Makan Bergizi Gratis, ICW: Lebih Baik MBG Dihentikan

Peneliti Indonesia raja zeus Corruption Watch (ICW) Dewi Anggraeni menyarankan supaya pemerintah menghentikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikarenakan pelaksanaannya sering menyebabkan beragam persoalan. “Ketimbang jadi kisruh ke depannya, lebih baik dihentikan dari saat ini,” kata Dewi saat dihubungi, Jumat, 18 April 2025. Perselisihan pada mitra dapur lazim dan yayasan mitra Badan Gizi Nasional (BGN) di Kalibata jadi memperpanjang deretan persoalan dalam proyek pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut.

Dapur lazim punya Ira Mesra, yang bekerja mirip bersama Yayasan BGN, terpaksa menghentikan aktivitas operasionalnya sejak libur Lebaran 2025 akibat mengalami kerugian sebesar Rp 975,3 juta. Kuasa hukum Ira, Danna Harly Putra, menyatakan bahwa kerugian berikut berlangsung dikarenakan biaya bahan baku dan operasional belum dibayarkan oleh Yayasan Berkat Media Nusantara (MBN), mitra dari BGN.

Menanggapi persoalan ini, Kepala BGN, Dadan Hindayana, memanggil ke-2 pihak pada Rabu, 16 April, untuk laksanakan mediasi dan menggali lebih jauh akar masalahnya. Usai mediasi, Dadan mengutarakan bahwa ia baru paham bahwa yayasan dan mitra dapur yang terlibat kerja mirip bersama BGN ternyata bukan bagian dari satu kesatuan, tidak sama bersama pola kemitraan BGN yang lazimnya. “Tetapi, mitra dapur telah mulai beroperasi lagi. Sudah ditransfer anggarannya untuk 10 hari ke depan,” kata Dadan. Meski demikian, Dadan memastikan bahwa konflik pada Yayasan MBN dan dapur lazim punya Ira Mesra tidak mengenai segera bersama BGN.

Menurutnya, problem berikut merupakan urusan internal pada ke-2 belah pihak. Sementara itu, secara terpisah, Direktur Keadilan Fiskal dari Center of Economic plus Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar menyatakan bahwa sengketa pada yayasan dan mitra dapur di Kalibata sebatas satu dari sekian banyak kekisruhan dalam pelaksanaan program MBG.

Dia menyebut bahwa beragam persoalan layaknya persoalan keracunan akibat MBG, penolakan program di Papua, serta ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya mencerminkan bahwa proyek ini dilaksanakan tanpa rencana yang matang. Salah satu indikatornya adalah perubahan dalam alokasi anggaran untuk harga makanan. Awalnya, anggaran yang ditetapkan untuk tiap-tiap porsi makanan MBG adalah Rp 15 ribu, tapi lantas turun jadi Rp 10 ribu.

Bahkan, pada pelaksanaan awal program, terdapat menu makanan siswa yang tidak disertai bersama susu. “Kalau sesungguhnya perlu dilanjutkan, sudah pasti perlu tersedia evaluasi besar yang dilakukan,” ujar Askar. Evaluasi pada program MBG termasuk upaya untuk menaikkan transparansi dalam rencana proyek, penetapan anggaran, serta mengakses akses pengawasan oleh masyarakat sipil supaya faedah pemantauan mampu berlangsung lebih efektif. Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan bahwa meskipun sepanjang empat bulan pelaksanaannya program ini diliputi beragam persoalan, MBG tidak dapat segera dihentikan. Ia mengimbuhkan bahwa BGN terus laksanakan perbaikan pada beragam kekurangan yang ada.

ICW Sorot Tiga Permasalahan MBG

Menurut ICW, layaknya yang dilansir dari antikorupsi.org, program berikut punya banyak kelemahan, mulai dari sisi anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan di lapangan, sampai pengawasannya. Selain itu, informasi mengenai program MBG terhitung dinilai tidak transparan dan tertutup bagi publik. Selama dua bulan pelaksanaannya, ICW mencatat setidaknya tersedia tiga persoalan utama dalam program ini.

BACA JUGA: https://www.dwijainspira.id/koperasi-desa-merah-putih-butuh-sekitar-400-ribu-pengurus-dan-12-juta-pengelola/

1. Belum adanya kebijakan yang secara holistik

Berdasarkan hasil kajian ICW, kebijakan yang tersedia saat ini hanya punya tujuan untuk mencukupi ambisi Presiden Prabowo supaya program berikut mampu segera dilaksanakan di awal jaman pemerintahannya pada 2025 dan belum menyeluruh regulasinya dalam menyesuaikan tata kelola dan mekanisme pelaksanaan MBG.

Rangkaian kebijakan mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) nampak paham dari diterbitkannya Perpres Nomor 83 Tahun 2024 oleh Presiden Jokowi pada 15 Agustus 2024, yang menentukan pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator pelaksana program tersebut. Dalam kurun saat hanya empat bulan, program MBG telah dilaksanakan secara nasional.

Namun, dalam pelaksanaannya, berlangsung pemotongan anggaran negara demi mendanai MBG dan program-program Presiden lainnya. Perencanaan yang terburu-buru, kurangnya transparansi informasi, minimnya pelibatan pemangku kepentingan dan masyarakat, serta adanya larangan untuk mempublikasikan program ini jadi gabungan berisiko tinggi yang bukan hanya kuras anggaran negara, tapi terhitung mengakses celah besar bagi praktek korupsi.

2. Perhitungan anggaran MBG serampangan

Perhitungan anggaran MBG yang terburu-buru berdampak pada pemangkasan membeli pemerintah. Hal ini di awali bersama terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 berkenaan efisiensi anggaran, yang lantas ditindaklanjuti oleh surat edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 berisi daftar 16 pos membeli yang mampu dipotong. Meski pemotongan tak termasuk membeli pegawai dan bansos, nyatanya banyak program penting yang ikut terdampak.

Menteri Keuangan menyebut kebutuhan anggaran MBG sebesar Rp 306,6 triliun, bersama Rp 100 triliun dialokasikan ke BGN. Padahal, Kepala BGN menyatakan kebutuhan hanya Rp 12 triliun per tahun. ICW pun mempertanyakan alokasi Rp 82 triliun lainnya, yang diduga digunakan untuk operasional BGN dan program bersama Kementerian Pertahanan, terhitung mencetak 5.000 Sarjana Penggerak Pertumbuhan Indonesia (SPPI) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ironisnya, saat berlangsung banyak PHK dan pembatasan layanan publik, SPPI justru dirancang jadi ASN BGN.

3. Tidak transparannya mekanisme MBG

Program MBG butuh beragam elemen layaknya bahan pangan, kemasan makanan, ahli gizi, juru masak, distributor, dan lainnya. Namun, akses masyarakat pada informasi ini sangat terbatas. ICW mendapatkan bahwa sampai akhir Januari, baru tersedia 190 SPPG dari obyek 500-937 yang perlu tercapai pada Januari-Februari 2025.

Dalam penelusuran, ICW terhitung mencatat tersedia SPPG yang mengelola lebih dari satu kecamatan, layaknya di Provinsi Kepulauan Riau, bersama alamat dapur yang sama. Padahal, anjuran tehnis BGN mengharuskan lokasi SPPG berada dalam radius 6 km atau saat tempuh 30 menit dari lokasi penerima manfaat.

Tertutupnya informasi berkenaan pengadaan MBG berdampak pada mutu makanan yang diterima penerima faedah dan tidak terserapnya bahan pangan lokal. Selain itu, kurangnya informasi berkenaan latar belakang SPPG berisiko menyebabkan konflik kepentingan, monopoli, dan kompetisi usaha yang tidak sehat.

Share: Facebook Twitter Linkedin